Showing posts with label Dunia Teknologi. Show all posts
Showing posts with label Dunia Teknologi. Show all posts

Tuesday, February 15, 2011

Setelah 257 Hari, Kosmonot 'Mendarat' di Mars


Setelah 257 hari terkurung dalam kapsul tak berjendela, Senin 14 Januari 2011, dua kosmonot Diego Urbina dan Alexander Smoleevskiy akhirnya 'mendarat' di Mars.

Dengan susah payah mengenakan baju luar angkasa seberat 30 kilogram, mereka ke luar, ke tanah berpasir dan menancapkan bendera Rusia, China, dan Badan Antariksa Eropa di planet merah. Lalu mereka mengambil sample dari tanah.

Namun sayang, itu hanya simulasi -- bagian dari proyek 'Mars 500' yang bertujuan menguji daya tahan manusia dalam misi panjang ke planet terdekat Bumi itu.

"Semua sistem berjalan normal, kru juga dalam kondisi baik," kata Deputi Kepala Badan Antariksa Rusia, Vitaly Davydov, Senin 14 Februari 2011.

Tujuan misi yang paling penting adalah menyiapkan psikologis kru nyata di masa mendatang. Enam sukarelawan rela diisolasi, dikurung selama 520 hari di dalam kapsul, sesuai waktu yang diperkirakan untuk menjelajah 'planet merah' itu. Diprediksi, butuh waktu 250 hari untuk menuju ke Mars, 30 hari menjelajah permukaannya, dan 240 hari waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke Bumi.

Kondisi terkurung ini akan menempatkan para kru dalam kondisi stres. Davydov menggambarkan, percobaan ini sebagai bagian penting dari persiapan untuk penerbangan ke Mars yang diprediksi akan terwujud 20 tahun mendatang.

Enam relawan yang terpilih tak hanya bermodal nekat. Para relawan ini setidaknya bukan orang sembarangan. Romain Charles, 31 tahun, dari Prancis dan campuran Italia-Kolombia, Diego Urbina, 27 tahun, adalah insinyur. Wang Yue, 26 tahun, dari China adalah pegawai di pusat pelatihan luar angkasa China. Sementara Alexey Sitev, kapten dari Rusia bekerja di pusat pelatihan kosmonot negaranya, dua pria Rusia lainnya, Sukhrob Kamolov, 32 tahun, dan Alexander Smoleyevsky, 33 tahun, adalah dokter.

Para sukarelawan berkomunikasi dengan dunia luar melalui surat elektronik dan pesan video--kadang-kadang komunikasi ini sengaja ditahan untuk menghilangkan kesan para sukarelawan ini tak jauh dari pusat kontrol, dari Bumi.

Sehari-hari para sukarelawan menjalani kebiasaan seperti para astronot pada umumnya. Mereka makan makanan kaleng yang biasa disantap di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan hanya mandi sekali dalam seminggu.

Ruang simulasi, tempat hidup para sukarelawan yang memiliki lebar 3,6 meter dan panjang 20 meter ditempatkan di sebuah lokasi parkir di Moskow. Di dalamnya ada enam tempat tidur, ruang duduk, dapur dan meja makan, zona kerja, toilet, laboratorium, dan rumah kaca.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/204693-setelah-257-hari--kosmonot--mendarat--di-mars

Setelah 257 Hari, Kosmonot 'Mendarat' di Mars


Setelah 257 hari terkurung dalam kapsul tak berjendela, Senin 14 Januari 2011, dua kosmonot Diego Urbina dan Alexander Smoleevskiy akhirnya 'mendarat' di Mars.

Dengan susah payah mengenakan baju luar angkasa seberat 30 kilogram, mereka ke luar, ke tanah berpasir dan menancapkan bendera Rusia, China, dan Badan Antariksa Eropa di planet merah. Lalu mereka mengambil sample dari tanah.

Namun sayang, itu hanya simulasi -- bagian dari proyek 'Mars 500' yang bertujuan menguji daya tahan manusia dalam misi panjang ke planet terdekat Bumi itu.

"Semua sistem berjalan normal, kru juga dalam kondisi baik," kata Deputi Kepala Badan Antariksa Rusia, Vitaly Davydov, Senin 14 Februari 2011.

Tujuan misi yang paling penting adalah menyiapkan psikologis kru nyata di masa mendatang. Enam sukarelawan rela diisolasi, dikurung selama 520 hari di dalam kapsul, sesuai waktu yang diperkirakan untuk menjelajah 'planet merah' itu. Diprediksi, butuh waktu 250 hari untuk menuju ke Mars, 30 hari menjelajah permukaannya, dan 240 hari waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke Bumi.

Kondisi terkurung ini akan menempatkan para kru dalam kondisi stres. Davydov menggambarkan, percobaan ini sebagai bagian penting dari persiapan untuk penerbangan ke Mars yang diprediksi akan terwujud 20 tahun mendatang.

Enam relawan yang terpilih tak hanya bermodal nekat. Para relawan ini setidaknya bukan orang sembarangan. Romain Charles, 31 tahun, dari Prancis dan campuran Italia-Kolombia, Diego Urbina, 27 tahun, adalah insinyur. Wang Yue, 26 tahun, dari China adalah pegawai di pusat pelatihan luar angkasa China. Sementara Alexey Sitev, kapten dari Rusia bekerja di pusat pelatihan kosmonot negaranya, dua pria Rusia lainnya, Sukhrob Kamolov, 32 tahun, dan Alexander Smoleyevsky, 33 tahun, adalah dokter.

Para sukarelawan berkomunikasi dengan dunia luar melalui surat elektronik dan pesan video--kadang-kadang komunikasi ini sengaja ditahan untuk menghilangkan kesan para sukarelawan ini tak jauh dari pusat kontrol, dari Bumi.

Sehari-hari para sukarelawan menjalani kebiasaan seperti para astronot pada umumnya. Mereka makan makanan kaleng yang biasa disantap di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan hanya mandi sekali dalam seminggu.

Ruang simulasi, tempat hidup para sukarelawan yang memiliki lebar 3,6 meter dan panjang 20 meter ditempatkan di sebuah lokasi parkir di Moskow. Di dalamnya ada enam tempat tidur, ruang duduk, dapur dan meja makan, zona kerja, toilet, laboratorium, dan rumah kaca.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/204693-setelah-257-hari--kosmonot--mendarat--di-mars

Setelah 257 Hari, Kosmonot 'Mendarat' di Mars


Setelah 257 hari terkurung dalam kapsul tak berjendela, Senin 14 Januari 2011, dua kosmonot Diego Urbina dan Alexander Smoleevskiy akhirnya 'mendarat' di Mars.

Dengan susah payah mengenakan baju luar angkasa seberat 30 kilogram, mereka ke luar, ke tanah berpasir dan menancapkan bendera Rusia, China, dan Badan Antariksa Eropa di planet merah. Lalu mereka mengambil sample dari tanah.

Namun sayang, itu hanya simulasi -- bagian dari proyek 'Mars 500' yang bertujuan menguji daya tahan manusia dalam misi panjang ke planet terdekat Bumi itu.

"Semua sistem berjalan normal, kru juga dalam kondisi baik," kata Deputi Kepala Badan Antariksa Rusia, Vitaly Davydov, Senin 14 Februari 2011.

Tujuan misi yang paling penting adalah menyiapkan psikologis kru nyata di masa mendatang. Enam sukarelawan rela diisolasi, dikurung selama 520 hari di dalam kapsul, sesuai waktu yang diperkirakan untuk menjelajah 'planet merah' itu. Diprediksi, butuh waktu 250 hari untuk menuju ke Mars, 30 hari menjelajah permukaannya, dan 240 hari waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke Bumi.

Kondisi terkurung ini akan menempatkan para kru dalam kondisi stres. Davydov menggambarkan, percobaan ini sebagai bagian penting dari persiapan untuk penerbangan ke Mars yang diprediksi akan terwujud 20 tahun mendatang.

Enam relawan yang terpilih tak hanya bermodal nekat. Para relawan ini setidaknya bukan orang sembarangan. Romain Charles, 31 tahun, dari Prancis dan campuran Italia-Kolombia, Diego Urbina, 27 tahun, adalah insinyur. Wang Yue, 26 tahun, dari China adalah pegawai di pusat pelatihan luar angkasa China. Sementara Alexey Sitev, kapten dari Rusia bekerja di pusat pelatihan kosmonot negaranya, dua pria Rusia lainnya, Sukhrob Kamolov, 32 tahun, dan Alexander Smoleyevsky, 33 tahun, adalah dokter.

Para sukarelawan berkomunikasi dengan dunia luar melalui surat elektronik dan pesan video--kadang-kadang komunikasi ini sengaja ditahan untuk menghilangkan kesan para sukarelawan ini tak jauh dari pusat kontrol, dari Bumi.

Sehari-hari para sukarelawan menjalani kebiasaan seperti para astronot pada umumnya. Mereka makan makanan kaleng yang biasa disantap di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan hanya mandi sekali dalam seminggu.

Ruang simulasi, tempat hidup para sukarelawan yang memiliki lebar 3,6 meter dan panjang 20 meter ditempatkan di sebuah lokasi parkir di Moskow. Di dalamnya ada enam tempat tidur, ruang duduk, dapur dan meja makan, zona kerja, toilet, laboratorium, dan rumah kaca.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/204693-setelah-257-hari--kosmonot--mendarat--di-mars

Setelah 257 Hari, Kosmonot 'Mendarat' di Mars


Setelah 257 hari terkurung dalam kapsul tak berjendela, Senin 14 Januari 2011, dua kosmonot Diego Urbina dan Alexander Smoleevskiy akhirnya 'mendarat' di Mars.

Dengan susah payah mengenakan baju luar angkasa seberat 30 kilogram, mereka ke luar, ke tanah berpasir dan menancapkan bendera Rusia, China, dan Badan Antariksa Eropa di planet merah. Lalu mereka mengambil sample dari tanah.

Namun sayang, itu hanya simulasi -- bagian dari proyek 'Mars 500' yang bertujuan menguji daya tahan manusia dalam misi panjang ke planet terdekat Bumi itu.

"Semua sistem berjalan normal, kru juga dalam kondisi baik," kata Deputi Kepala Badan Antariksa Rusia, Vitaly Davydov, Senin 14 Februari 2011.

Tujuan misi yang paling penting adalah menyiapkan psikologis kru nyata di masa mendatang. Enam sukarelawan rela diisolasi, dikurung selama 520 hari di dalam kapsul, sesuai waktu yang diperkirakan untuk menjelajah 'planet merah' itu. Diprediksi, butuh waktu 250 hari untuk menuju ke Mars, 30 hari menjelajah permukaannya, dan 240 hari waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke Bumi.

Kondisi terkurung ini akan menempatkan para kru dalam kondisi stres. Davydov menggambarkan, percobaan ini sebagai bagian penting dari persiapan untuk penerbangan ke Mars yang diprediksi akan terwujud 20 tahun mendatang.

Enam relawan yang terpilih tak hanya bermodal nekat. Para relawan ini setidaknya bukan orang sembarangan. Romain Charles, 31 tahun, dari Prancis dan campuran Italia-Kolombia, Diego Urbina, 27 tahun, adalah insinyur. Wang Yue, 26 tahun, dari China adalah pegawai di pusat pelatihan luar angkasa China. Sementara Alexey Sitev, kapten dari Rusia bekerja di pusat pelatihan kosmonot negaranya, dua pria Rusia lainnya, Sukhrob Kamolov, 32 tahun, dan Alexander Smoleyevsky, 33 tahun, adalah dokter.

Para sukarelawan berkomunikasi dengan dunia luar melalui surat elektronik dan pesan video--kadang-kadang komunikasi ini sengaja ditahan untuk menghilangkan kesan para sukarelawan ini tak jauh dari pusat kontrol, dari Bumi.

Sehari-hari para sukarelawan menjalani kebiasaan seperti para astronot pada umumnya. Mereka makan makanan kaleng yang biasa disantap di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan hanya mandi sekali dalam seminggu.

Ruang simulasi, tempat hidup para sukarelawan yang memiliki lebar 3,6 meter dan panjang 20 meter ditempatkan di sebuah lokasi parkir di Moskow. Di dalamnya ada enam tempat tidur, ruang duduk, dapur dan meja makan, zona kerja, toilet, laboratorium, dan rumah kaca.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/204693-setelah-257-hari--kosmonot--mendarat--di-mars

Sunday, February 13, 2011

Tanaman 'Bunglon' Bisa Berganti Warna


Bukan cuma bunglon yang bisa berganti warna kulit. Ternyata, tanaman pun kini bisa berubah warna sesuai dengan kondisi yang menaunginya.

Adalah June Medford, seorang pakar biologi dari Colorado State University, yang berhasil melakukan rekayasa genetik terhadap tanaman arabidopsis, sehingga tanaman tersebut bisa berganti warna.

Seperti dikutip dari situs PCWorld, tanaman hasil rekayasa Medford dan timnya, akan berubah warna dari hijau menjadi putih saat tanaman itu mendeteksi kehadiran unsur berbahaya di dekatnya, seperti obat terlarang, polutan, atau bahkan material eksplosif.

Awalnya, Medford menggunakan komputer untuk mendesain protein tanaman bernama reseptor. Kemudian, Medford memanfaatkan bakteri untuk memodifikasi reseptor tanaman tersebut.

Dengan struktur genetika yang telah dimodifikasi, maka reseptor tumbuhan bisa mendeteksi partikel-partikel bahan kimia berbahaya, polutan, bahan peledak, atau ancaman lain. Saat mendeteksi kehadiran zat-zat tersebut, tanaman akan mengirimkan sinyal, sehingga warna hijaunya berubah menjadi putih.

"Bila Anda membawa sesuatu ke bandara internasional Denver, misalnya sebuah bahan peledak, maka tanaman ini akan berubah warna menjadi putih. Ini akan memberikan keamanan bagi Anda," kata Medford, 52, kepada situs The Denver Post.

Proyek penelitian itu didukung oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) sejak 2003, dengan bantuan dana sebesar US$500 ribu atau Rp4,5 miliar. Belakangan, riset ini juga mendapat dukungan dari The Office of Naval Research, Department of Homeland Security, dan Defense Threat Reduction Agency.

"Harapan kami, tanaman ini bisa ditempatkan di lokasi umum, sehingga bisa mendeteksi bahan peledak di lokasi tempat benda berbahaya itu sedang dirakit," kata Doug Bauer, Program Manager riset eksplosif pada Homeland Security di Washington DC.

Aplikasi lainnya, tanaman ini juga bisa digunakan oleh polisi untuk memberantas peredaran obat terlarang, atau melindungi tentara yang tengah konvoi dari bom dan ranjau.

Kini, tanaman ini masih memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk merespons keberadaan zat-zat berbahaya tadi dan perubahan warna. Namun, para ilmuwan yakin akan diperoleh kemajuan sehingga respons yang ditunjukkan tanaman bisa segera terlihat dalam hitungan menit.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/202735-tanaman--bunglon--bisa-berganti-warna

Tanaman 'Bunglon' Bisa Berganti Warna


Bukan cuma bunglon yang bisa berganti warna kulit. Ternyata, tanaman pun kini bisa berubah warna sesuai dengan kondisi yang menaunginya.

Adalah June Medford, seorang pakar biologi dari Colorado State University, yang berhasil melakukan rekayasa genetik terhadap tanaman arabidopsis, sehingga tanaman tersebut bisa berganti warna.

Seperti dikutip dari situs PCWorld, tanaman hasil rekayasa Medford dan timnya, akan berubah warna dari hijau menjadi putih saat tanaman itu mendeteksi kehadiran unsur berbahaya di dekatnya, seperti obat terlarang, polutan, atau bahkan material eksplosif.

Awalnya, Medford menggunakan komputer untuk mendesain protein tanaman bernama reseptor. Kemudian, Medford memanfaatkan bakteri untuk memodifikasi reseptor tanaman tersebut.

Dengan struktur genetika yang telah dimodifikasi, maka reseptor tumbuhan bisa mendeteksi partikel-partikel bahan kimia berbahaya, polutan, bahan peledak, atau ancaman lain. Saat mendeteksi kehadiran zat-zat tersebut, tanaman akan mengirimkan sinyal, sehingga warna hijaunya berubah menjadi putih.

"Bila Anda membawa sesuatu ke bandara internasional Denver, misalnya sebuah bahan peledak, maka tanaman ini akan berubah warna menjadi putih. Ini akan memberikan keamanan bagi Anda," kata Medford, 52, kepada situs The Denver Post.

Proyek penelitian itu didukung oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) sejak 2003, dengan bantuan dana sebesar US$500 ribu atau Rp4,5 miliar. Belakangan, riset ini juga mendapat dukungan dari The Office of Naval Research, Department of Homeland Security, dan Defense Threat Reduction Agency.

"Harapan kami, tanaman ini bisa ditempatkan di lokasi umum, sehingga bisa mendeteksi bahan peledak di lokasi tempat benda berbahaya itu sedang dirakit," kata Doug Bauer, Program Manager riset eksplosif pada Homeland Security di Washington DC.

Aplikasi lainnya, tanaman ini juga bisa digunakan oleh polisi untuk memberantas peredaran obat terlarang, atau melindungi tentara yang tengah konvoi dari bom dan ranjau.

Kini, tanaman ini masih memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk merespons keberadaan zat-zat berbahaya tadi dan perubahan warna. Namun, para ilmuwan yakin akan diperoleh kemajuan sehingga respons yang ditunjukkan tanaman bisa segera terlihat dalam hitungan menit.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/202735-tanaman--bunglon--bisa-berganti-warna

Tanaman 'Bunglon' Bisa Berganti Warna


Bukan cuma bunglon yang bisa berganti warna kulit. Ternyata, tanaman pun kini bisa berubah warna sesuai dengan kondisi yang menaunginya.

Adalah June Medford, seorang pakar biologi dari Colorado State University, yang berhasil melakukan rekayasa genetik terhadap tanaman arabidopsis, sehingga tanaman tersebut bisa berganti warna.

Seperti dikutip dari situs PCWorld, tanaman hasil rekayasa Medford dan timnya, akan berubah warna dari hijau menjadi putih saat tanaman itu mendeteksi kehadiran unsur berbahaya di dekatnya, seperti obat terlarang, polutan, atau bahkan material eksplosif.

Awalnya, Medford menggunakan komputer untuk mendesain protein tanaman bernama reseptor. Kemudian, Medford memanfaatkan bakteri untuk memodifikasi reseptor tanaman tersebut.

Dengan struktur genetika yang telah dimodifikasi, maka reseptor tumbuhan bisa mendeteksi partikel-partikel bahan kimia berbahaya, polutan, bahan peledak, atau ancaman lain. Saat mendeteksi kehadiran zat-zat tersebut, tanaman akan mengirimkan sinyal, sehingga warna hijaunya berubah menjadi putih.

"Bila Anda membawa sesuatu ke bandara internasional Denver, misalnya sebuah bahan peledak, maka tanaman ini akan berubah warna menjadi putih. Ini akan memberikan keamanan bagi Anda," kata Medford, 52, kepada situs The Denver Post.

Proyek penelitian itu didukung oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) sejak 2003, dengan bantuan dana sebesar US$500 ribu atau Rp4,5 miliar. Belakangan, riset ini juga mendapat dukungan dari The Office of Naval Research, Department of Homeland Security, dan Defense Threat Reduction Agency.

"Harapan kami, tanaman ini bisa ditempatkan di lokasi umum, sehingga bisa mendeteksi bahan peledak di lokasi tempat benda berbahaya itu sedang dirakit," kata Doug Bauer, Program Manager riset eksplosif pada Homeland Security di Washington DC.

Aplikasi lainnya, tanaman ini juga bisa digunakan oleh polisi untuk memberantas peredaran obat terlarang, atau melindungi tentara yang tengah konvoi dari bom dan ranjau.

Kini, tanaman ini masih memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk merespons keberadaan zat-zat berbahaya tadi dan perubahan warna. Namun, para ilmuwan yakin akan diperoleh kemajuan sehingga respons yang ditunjukkan tanaman bisa segera terlihat dalam hitungan menit.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/202735-tanaman--bunglon--bisa-berganti-warna

Tanaman 'Bunglon' Bisa Berganti Warna


Bukan cuma bunglon yang bisa berganti warna kulit. Ternyata, tanaman pun kini bisa berubah warna sesuai dengan kondisi yang menaunginya.

Adalah June Medford, seorang pakar biologi dari Colorado State University, yang berhasil melakukan rekayasa genetik terhadap tanaman arabidopsis, sehingga tanaman tersebut bisa berganti warna.

Seperti dikutip dari situs PCWorld, tanaman hasil rekayasa Medford dan timnya, akan berubah warna dari hijau menjadi putih saat tanaman itu mendeteksi kehadiran unsur berbahaya di dekatnya, seperti obat terlarang, polutan, atau bahkan material eksplosif.

Awalnya, Medford menggunakan komputer untuk mendesain protein tanaman bernama reseptor. Kemudian, Medford memanfaatkan bakteri untuk memodifikasi reseptor tanaman tersebut.

Dengan struktur genetika yang telah dimodifikasi, maka reseptor tumbuhan bisa mendeteksi partikel-partikel bahan kimia berbahaya, polutan, bahan peledak, atau ancaman lain. Saat mendeteksi kehadiran zat-zat tersebut, tanaman akan mengirimkan sinyal, sehingga warna hijaunya berubah menjadi putih.

"Bila Anda membawa sesuatu ke bandara internasional Denver, misalnya sebuah bahan peledak, maka tanaman ini akan berubah warna menjadi putih. Ini akan memberikan keamanan bagi Anda," kata Medford, 52, kepada situs The Denver Post.

Proyek penelitian itu didukung oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) sejak 2003, dengan bantuan dana sebesar US$500 ribu atau Rp4,5 miliar. Belakangan, riset ini juga mendapat dukungan dari The Office of Naval Research, Department of Homeland Security, dan Defense Threat Reduction Agency.

"Harapan kami, tanaman ini bisa ditempatkan di lokasi umum, sehingga bisa mendeteksi bahan peledak di lokasi tempat benda berbahaya itu sedang dirakit," kata Doug Bauer, Program Manager riset eksplosif pada Homeland Security di Washington DC.

Aplikasi lainnya, tanaman ini juga bisa digunakan oleh polisi untuk memberantas peredaran obat terlarang, atau melindungi tentara yang tengah konvoi dari bom dan ranjau.

Kini, tanaman ini masih memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk merespons keberadaan zat-zat berbahaya tadi dan perubahan warna. Namun, para ilmuwan yakin akan diperoleh kemajuan sehingga respons yang ditunjukkan tanaman bisa segera terlihat dalam hitungan menit.

sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/202735-tanaman--bunglon--bisa-berganti-warna

LinkWithin